Last updated on December 7
Project Management Mempunyai berbagai Standard Development Life Cycle (SDLC) model Kepada menjalankan sebuah project Application Development. Dua yang paling Terkenal adalah model Waterfall dan Agile (Agile Waterfall Hybrid).
Model Waterfall secara sederhana terbagi menjadi 3 fase, Requirement Analysis & System Design, Development & Testing, Deployment & Maintenance. Setiap fase Mempunyai deliverable-nya masing-masing, yang harus melalui proses approval sebelum lanjut ke fase berikutnya.
Model Agile Mempunyai pendekatan yang adaptative, dimana project dipecah menjadi milestone-milestone kecil yang direview secara Lalu menerus oleh tim dengan melibatkan end-user. Setiap milestone akan melalui proses Rencana, Analisa, Design, Develop, dan Testing yang kemudian menghasilkan requirement baru Kepada milestone berikutnya.
Waterfall adalah metode yang rigid, sementara Agile adalah metode yang flexible. Waterfall akan lihat kontrak sebagai acuan Primer, sementara filosofi Agile menempatkan Sosok di atas kontrak.
Waterfall akan lihat kontrak sebagai acuan Primer, sementara filosofi Agile menempatkan Sosok di atas kontrak.
Keistimewaan metode Agile adalah di sisi flexibilitas, Tetapi perlu dipahami bahwa flexibilitas berlaku 2 arah. Developer harus cukup flexible Kepada memahami bahwa user belum dapat memetakan kebutuhannya secara lengkap di awal, sehingga user juga harus cukup flexible Kepada memahami bahwa waktu pengerjaan dan biaya akan dapat berubah. Developer harus Mempunyai komitmen waktu terhadap project, begitu pula user diharapkan dapat Mempunyai komitmen waktu yang sama.
Baca Juga: Mengenal Drip Marketing
Pemahaman tersebut seringkali Bukan dapat ditemukan di lapangan, sehingga pendekatan hybrid menjadi salah satu alternative yang dapat digunakan.
Mindset Waterfall mengarahkan pada analisa kebutuhan yang mendetail di awal proses development, dengan output berupa FSD atau UI Specs. Pada metode Agile, walaupun lebih Pusat perhatian pada proses development-sprint test, tetap dibutuhkan dokumentasi kebutuhan/story yang disebut Produk Backlog. Pada kedua metode, keberhasilan project akan banyak mengandalkan pada seberapa detail dokumentasi kebutuhan yang dapat dihasilkan di awal. Pembedanya adalah pada metode Agile, Produk Backlog dihasilkan secara bertahap dengan mengacu pada hasil Sprint Test.
Metode hybrid menggabungkan kedua metode tersebut.
1. Analisa kebutuhan tetap harus dilakukan di awal proses, Tetapi Arsip yang dihasilkan lebih bersifat Capability List yang didasarkan atas story dari user. Capability list ini bersifat living document, yang akan ditinjau ulang di setiap akhir sprint test.
2. Proses development dibagi menjadi milestone-milestone kecil, dimana sprint test akan dilakukan dalam periode kurang dari satu bulan. Output dari sprint test akan dipetakan ulang ke Arsip awal dan disusun ulang prioritas pengerjaannya, atau diajukan Change Request Apabila Rupanya jauh berbeda dari requirement awal.
3. Proses deployment dapat dilakukan secara bertahap, dengan metode patching. Kontrak mengcover managed service Kepada warranty dan maintenance. Finalisasi Arsip teknis dilakukan secara bertahap.
Metode ini walaupun dinilai Bukan ideal karena Bukan dapat menampilkan Keistimewaan terbesar dari metode Agile maupun Waterfall, Tetapi ini menjadi salah satu jalan keluar bagi kebutuhan akan pengawasan dan deliverable yang intensif terhadap progress pekerjaan, dan variasi perubahan yang dapat terjadi layaknya metode Agile, Tetapi dengan tetap menggunakan pendekatan durasi kontrak dan nilai yang mengikat.